BBRI Kembali Cetak All Time High Rp 5.700, Apa Kata BRI dan Analis?

investor trust

investor trust

JAKARTA, investortrust.id – Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum mampu pulih ke level 7.000, namun tak membendung pergerakan harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang tak lelah mencetak rekor-rekor tertinggi baru. Setelah pada Kamis minggu lalu (17/07/2023) menembus level baru Rp 5.625 per saham, hari ini sempat kembali terbang mencetak rekor tertinggi di level Rp 5.700 menjelang penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia. Lalu, apa kata manajemen BRI?

“Kinerja saham BBRI yang terus menunjukkan performa yang baik tersebut merupakan sebuah sinyal positif dari dari market, atas strategi BRI yang diambil saat ini. Di mana, BRI akan terus fokus pada segmen UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), utamanya segmen ultramikro dan mikro. Di saat bersamaan, BRI juga melakukan efisiensi serta mencatatkan perbaikan kualitas aset, yang memberikan dampak positif terhadap bottom-line kinerja perseroan,” kata Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI Aestika Oryza Gunarto, kepada Investortrust.id, Jakarta, Selasa (25/07/2023).

Aestika menjelaskan, hingga akhir Juni 2023, secara bank only, pertumbuhan kredit BRI masih on the track, sesuai guidelines yang ditetapkan perseroan di awal tahun. Non-performing loan (NPL) juga ter-manage dengan baik di bawah 3%.

“Penopang utama kredit BRI masih pada segmen UMKM. Ini terutama pada kredit mikro yang tercatat tumbuh double digit,” tandas Aestika.

 

Saham Melambung 1,79%

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, harga saham BBRI melonjak 1,79% menjelang penutupan perdagangan di BEI Selasa (25/07/2023), menembus all time high Rp 5.700. Harga akhirnya ditutup pada level Rp 5.650, naik dibandingkan hari sebelumnya Rp 5.600.

Penguatan harga saham bank BUMN dan bank terbesar di Tanah Air ini didukung optimisme kinerja ekonomi Indonesia yang masih solid. Optimisme tersebut dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat merilis data realisasi pendapatan dan belanja negara positif dalam menjaga pemulihan ekonomi dan melindungi masyarakat. Setidaknya, tercatat surplus APBN semester I-2023 menembus Rp 152,3 triliun, 0,71% dari produk domestik bruto (PDB).

“Pendapatan negara sebanyak Rp 1.407,9 triliun atau 57,2% dari target. Sedangkan belanja negara Rp 1.255,7 triliun atau 41,0% dari target,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jakarta, Senin (24/07/2023).

Kinerja positif ini juga ditunjukkan dengan keseimbangan primer mencapai Rp 368,2 triliun. Artinya, di tengah tantangan perekonomian global yang masih berat, APBN RI makin sehat, tak lagi ‘gali lubang tutup lubang’, tidak lagi menggunakan skema penarikan utang baru untuk membayar kewajiban bunga utang negara.

 

BI Pertahankan Suku Bunga

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24-25 Juli 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.

“Keputusan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75% ini konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023 dan 2,5±1% pada 2024. Fokus kebijakan diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global,” kata Perry, Jakarta, Selasa (25/07/2023).

Ia menuturkan, kebijakan insentif likuiditas makroprudensial diperkuat untuk mendorong kredit/pembiayaan dengan fokus hilirisasi, perumahan, pariwisata, dan pembiayaan inklusif dan hijau. Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran terus didorong untuk perluasan inklusi ekonomi dan keuangan digital. Bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran Bank Indonesia tersebut terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Menuju Market Cap Rp 1.000 T

Seiring dengan kenaikan harga saham, kapitalisasi pasar BBRI naik menjadi Rp 847,75 triliun pada penutupan perdagangan di BEI, hari ini. Market cap tersebut lebih tinggi dibanding Kamis lalu sekitar Rp 843,99 triliun.

Jika tren positif terus berlanjut, nilai kapitalisasi pasar saham bank dengan aset terbesar di Indonesia yang dipimpin Sunarso ini berpeluang menggapai level psikologis Rp 1.000 triliun.

Head of Research Samuel Sekuritas Suria Darma mengatakan sebelumnya, untuk mencapai nilai kapitalisasi Rp 1.000 triliun, harga saham BBRI harus mencapai level Rp 6.600 per saham. Jika melihat tingkat likuiditas saat ini dan dukungan fundamental, level psikologis itu bisa segera tercapai. “Tinggal menunggu waktu saja, harusnya bisa tercapai,” ujarnya.

Pada kesempatan terpisah, Ekonom dan Praktisi Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo mengatakan belum lama ini, likuiditas saham BBRI yang meningkat merupakan akumulasi dari pertumbuhan kinerja fundamental yang kuat. Setelah mencetak rekor laba bersih pada 2022, kinerja fundamental BBRI kembali moncer pada kuartal I-2023.

Dari sisi operasional sebagai bank, Lucky Bayu melihat BBRI tampak atraktif karena mampu mengakselerasi target alokasi kredit sesuai pipeline, yaitu Rp 710 triliun. “Ini parameter sangat penting, karena kalau dilihat secara year on year sudah tumbuh 11%,” ujar Lucky Bayu.

Pertumbuhan kredit pada kisaran 11% ini pernah dilontarkan Direktur Utama BRI Sunarso pada kuartal pertama 2023. “Kredit masih akan tumbuh di level 10-12%. Ini didukung segmen UMKM, khususnya mikro dan ultramikro,” ujar Sunarso kala itu.

Saat ini, Lucky menilai, BRI secara bisnis terbukti paling sustain, karena dukungan kuat dari UMKM yang proses restrukturisasinya sukses pasca pandemi Covid-19. Jadi, wajar jika likuiditas sahamnya yang sempat tertahan, kini kian meningkat.

Menurut Lucky, dalam satu bulan terakhir, foreign buy atas saham BBRI sangat dominan disbanding foreign sell. “Secara turn over transaksi secara more or less masih sama (tidak menurun). Nilainya sekitar Rp 60 triliun,” urai Lucky Bayu.

Ia menambahkan, secara makro, support atas kinerja saham BBRI lebih dominan pada kekuatan PDB Indonesia. Selain perbankan, lanjut dia, sektor-sektor seperti industri dasar, tergolong sangat kuat. Kinerja sektor-sektor yang kuat ikut menjadi trigger bagi saham perseron.